Oleh : Muhammad Farid Abbad
Agama dalam sejarahnya selalu menjadi
perbincangan yang tidak mengenal kata usang, karena pada dasarnya manusia
adalah mahluk spiritual yang selalu memiliki keterhubungan dengan yang ilahi.
Sebab itu, perbincangan agama selalu menarik dan menggairahkan. Agama sampai
hari ini tetap menjadi tema yang seksi untuk dibahas. Mesikupun masih banyak
perdebatan disana sini, apakah sesunggunya definisi dari agama itu. Atau
perlukah agama di definisikan ? agama itu
bersifat public atau privat, profan atau sakral, eksterior atau interior,
personal atau atau institusional, kita bisa menambah deretan pertanyaan itu
untuk menundukkan apa sebenarnya agama itu sesungguhnya.
Michael Lambek dalam A Companion to the Anthropology of
Religion (2013) membuat pertanyaan yang lebih menggelitik, apa agama itu
bagi antropologi. Sekilas pertanyaan ini sesungguhnya mengandung kesombongan
yang nyata. Tetapi ia ingin mengatakan bahwa agama menjadi sesuatu yang seksi
karena dengan agama -lah persoalan kemanusaiaan itu tampak semakin nyata.
Selama ini diakui atau tidak agama itu seperti panggung yang menampilkan
berbagai macam tragedy, konflik, kekerasan, kemiskinan, dominasi, perpecahan,
kerumitan-kerumitan yang manusia di dalamnya melihat semua adegan itu.
Konflik yang tidak pernah reda sampai
sekarang misalnya antara hindu dengan islam di India, sunni dan syiah yang
telah berlangsung selama ratusan tahun, antara protestan dengan katolik,
tragedy WTC di Amerika, ISIS yang baru saja menggemparkan dunia, para pengantin
bom bunuh diri dan masih banyak sekali sederet masalah yang tidak bisa disebutkan
semua dalam tulisan ini. Sebab itu, antropologi punya ketertarikan melihat
bagaimana realitas kehidupan sehari-hari orang yang menjalani praktek
keagamaan.
Clifford Greetz dalam The Interpretation
of Culture (1973) mendefinisikan agama sebagai “ Sebuah sistem simbol-simbol
yang bertindak untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat,
meresap, dan tahan lama dalam diri manusia, dengan cara merumuskan
konsepsi-konsepsi mengenai suatu tatanan umum eksistensi, dan membungkus
konsepsi-konsepsi ini dengan pancaran faktualitas , sehingga suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak secara unik dan realistis.” Dari definisi ini kita
bisa melihat bahwa Agama bagi Greetz adalah sebuah sistem kebudayaan bukan
sebagai sistem teologis. Sebagai sebuah kebudayaan yang diyakini oleh berbagai
macam kelompok maka hal itu menjadi pedoman bagi kelompok itu untuk melakukan
interpretasi atas lingkungannya. Dari interpretasi maka berimplikasi terhadap
Tindakan sehari-hari masyarakat tersebut.
Dalam agama symbol menjadi sesuatu yang
penting, hampir seluruh ritus dalam agama itu tidak bisa lepas dari sebuah
symbol. Masjid, Gereja, Sinagog itu adalah symbol sakralitas agama. Al-Qur’an,
Injil, Weda itu juga symbol. Dan fungis agama dalam konteks masyarakat sangat
penting dan mendasar, karena agama mampu untuk mengatur dan mengendalikan
sistem sosial di masyarakat, sehingga pada gilirannya agama menjadi inti
kebudayaan dari masyarakat. Karena itu agama juga mampu menjadi sumber
inspirasi dan kekuatan untuk menggerakkan masyarakat, terutama masyarakat kita
di Indonesia yang mengaanggap agama sebagai sesuatu yang penting.
Secara
antroplogis maka agama tidak bisa di definisikan, tetapi yang dilihat kemudian
adalah praktik orang-orang menjalankan agamanya. Manifestasi dari keyakinanya
Bergama. Hal ini bisa menjadi kritik sosial yang menarik jika saja masih banyak
orang yang mengaku beragama tetapi kehidupan sehari-harinya masih suka
melakukan eksploitasi, korupsi, dominasi, penindasan, diskriminasi, dan sederat
keburukan yang lain sehingga orang yang mangaku beragama itu patut di curigai,
apakah yang salah agamanya atau orang yang beragama ?