Oleh : M. Farid Abbad
Rihlah Ilmiah merupakan
tradisi Islam yang sudah cukup lama di lakukan oleh para pelancong dan “
pemburu pengetahuan” dan para ulama’ muslim dari masa kemasa, hal ini di
buktikan dengan adanya sumber – sumber sejarah yang mengatakan bahwa para Imam
Mujtahid seperti imam Syafi’i ngangsu kaweruh dari mulai kota Madinah
dengan Imam Malik sampai ke Baghdad – Iraq kepada imam Abu Hanifah An – Nu’man.
Sementara Ibnu Batutah seorang sejarawan sekaligus traveler muslim yang sudah melakukan
rihlah sampai ke beberapa benua jauh sebelum Marcopollo melakukan rihlah.
Selian itu, dalam sejarah Islam
untuk memberi gambaran atau settings mengenai kesejarahan menuntut ilmu
dalam Islam. Dalam Islam tradisi “ travelling” ini sebetulnya sangat
klasik sekalsik Islam itu sendiri. Agama ini memuat berbagai ajaran yang
mengandung unsur travelling, sebut saja haji, hijrah, ziarah, (
mengunjungi makam – makam keramat atau wisata rohani ke tempat – tempat
bersejarah yang mengandung “ unsur – unsur keagamaan”) atau rihlah ( perjalanan
untuk belajar, thalabul ilmi, seeking knowledge and wisdom, dan eksplorasi
untuk menggali kebudayaan lain). haji, hijrah, ziarah, atau rihlah hanya
sedikit contoh tentang “ perjalanan yang diinspirasi atau di dorong oleh agama”
(religiously inspired travel).
Semua ajaran atau doktrin
tentang travel ini tidak semata – mata “ turisme lahiriah” untuk sekedar
menikmati indahnya kebudayaan negara atau daerah lain, tetapi juga “ a
journey of the mind” atau “ an act of imagination “ untuk meminjam
istilah antropolog Dale Eickelman yang banyak
menulis tentang tradisi Islam dan kultur masyarakat Arab dan Timur Tengah. (
Sumanto Al Qurtuby 2013 : 12 )
Sudah menjadi pengetahuan
publik bahwa tradisi keilmuan Islam itu bisa di lacak sumbernya dari Timur Tengah,
oleh sebab itu tidak heran jika banyak dari kalangan thalabul ilmi yang
berbondong – bondong untuk belajar ke negara – negara pusat peradaban Islam
seperti Makkah, Madinah, Damaskus, Baghdad, Beirut, Cairo, Tunis, Khartoum, Tangger,
Hadra Maut, dan kota – kota besar lain
di Timur Tengah.
Kenapa sebagian besar, atau
bahkan rata – rata banyak yang masih memilih Timur Tengah sebagai kiblat dan
muara untuk menimba pengetahuan Islam. Karena, di sana banyak sekali di temukan
Universitas – Universitas Islam tua dan berpengaruh hingga saat ini. sebut
saja, Al – Azhar University, Zaytunah University, International University Of
Africa, University Of Holy Qur’an and Islamic Sciences, Damaskus Universtiy,
Kaftaro University, Institut Imam Nafi’, Mohammed V University, Ibn Tufail University, Global University,
Beirut Islamic University, Al – Ahgaff University, dan masih banyak lagi kampus
- kampus besar yang mempunyai banyak konsentrasi keilmuan Islam seperti Dirasat
Islamiyah, Syari’ah Wal – Qonun, Ushuluddin, Tarikh wal hadloroh Al – Islamiyah,
dan pelbagai jurusan lain yang sangat menjanjikan.
Para mahasiswa, atau pelajar
tidak hanya bergulat dengan pengetahuan keislaman saja. Namun, ia juga banyak
mencecap pengetahuan baru yang di suguhkan oleh negara dimana ia menimba ilmu.
Di sana, ragam budaya – kultur, peradaban, pemikiran, masyarakat, politik,
ekonomi, pendidikan, bisa di rasakan secara langsung. Hal demikian bisa
memberikan nilai plus bagi para pecinta ilmu. Sehingga rihlah ini pun juga
menambah wawasan dan membangun mentalitas berfikir yang tidak kaku dan sempit.
Kemudian, dalam konteks
kekayaan khazanah yang dimiliki, sejauh ini penyediaan buku – buku atau kitab
refrensi keislaman sebagian besar masih di miliki oleh perpustakaan –
perpustakaan besar di masing – masing kampus. Demikian juga dengan manuscript
karya para ulama’ di sana masih banyak manuscript yang belum sempat di tahqiq sehingga
belum bisa di konsumsi secarang langsung oleh masyarakat atau lebih khusus
adalah thalabul ilmi. Oleh karena itu bagi mahasiswa yang haus akan
bacaan dan refrensi maka di kampus – kampus besar itu adalah sebagai surga ilmu
yang tidak akan pernah kering dan habis.
Semantar itu, mahasiswa juga
tidak hanya menikmati sajian pengetahuan yang di sampaikan dalam kelas – kelas
tertentu, tetapi juga banyak yang kemudian mengikuti proses talaqqi ( ngaji secara
langsung ) dengan ulama’ – ulama’ yang mempunyai kapabilitias di bidangnya
masing – masing. Saya sendiri ketika
beberapa waktu yang lalu melakukan rihlah ke Khartoum – Sudan menyaksikan
banyak sekali masjid – masjid yang hampir setiap hari membuka pengajian khusus
dari berbagai macam fan keilmuan. Demikian halnya, ketika dulu belajar di
Beirut – Lebanon setiap hari ada pengajian rutinan yang bisa di ikuti di dalam
ma’had/asrama sendiri, maupun ketika saat puasa mengikuti talaqqi di masjid Burj
Abi Haydar bersama para ulama’ kaliber.
Beberapa poin di atas adalah
sebuah ilustrasi, dan sekaligus menjawab kenapa rihlah ilmiah yang hubungannya
dengan ilmu – ilmu kesilaman selalu di
hubungkan dengan negara – negara di Timur Tengah. Demikian dengan perjalanan
ilmiah yang di lakukan sudara Lukmanul Hakim Jamiel Al – Syarwi dalam beberapa
catatan yang di tulis dalam buku ini.
Dalam buku yang renyah ini,
penulis – saudara Lukamul Hakim Al – Syarwi ingin memperkuat kembali sebuah
pengalaman reflektif yang sangat menyentuh, tentang kisah seorang santri
kelana, yang sudah melalang buana dari satu pesantren ke pesantren lain untuk
menimba pengetahuan Islam yang murni dari para Kiai. Tetapi, justru ia mengenal
dengan baik sosok yang selama ini
berpengaruh terhadap perjalanan intelektualnya ketika belajar di negeri Imam al
– Auza’i ini. betapa ia, sangat hafal sekali petuah – petuah dan nasehat –
nasehat dari beliau seperti api yang menyala – nyala dan selalu membakar
semangatnya untuk melanjutkan jejak intelektual sang “ Abah” serta cita – dan mimpi
yang belum selesai .
Buku ini terbagi dalam II jilid, jilid I akan menyingkap keunikan yang berlatar Lebanon, pembaca akan di suguhi
informasi tentang indahnya alam pegunungan Lebanon yang sangat
jelita, birunya Laut Mediterania yang ada di jantung kota Beirut, Salju yang
menghiasi gunung Farayya ketika musim dingin tiba, dinamika sekte yang hidup
dan tumbuh subur di Lebanon. Serta banyak sisi lain yang menarik tentang
perjalanan penulis dalam masa thalabul ilmi.
Sementara, dalam Jilid II secara khusus akan penulis akan
menceritakan tentang pengalamannya ketika mengunjungi Istanbul – Turkey.
Penulis akan banyak bercerita tentang keindahan musium Aya Sophia, Blue Mosque,
dan kisah Heroik Sultan Muhammad Al – Fatih yang di prediksikan nabi menjadi
pemimpin agung yang mampu menaklukkan kota Konstantinopel yang saat ini
terkenal dengan Istanbul ini. dengan selingan – selingan sya’ir yang sangat
menyentuh, cerita dalam jilid II ini semakin memperindah buku mungil ini.
Selamat Membaca.