Oleh: M. Farid Abbad
Saya mengawali tulisan ini dengan mengingat
kembali tentang sebuah tema menarik yakni Antropologi Negara. Saat itu salah
seorang antropolog India mencoba melakukan riset tentang apa itu negara, bagaimana
negara bekerja, lalu bagaimana masyarakat memahami negara sebagai sebuah
Lembaga atau institusi? awalnya banyak orang memahami negara adalah sesuatu
yang eksklusif, yang terasa jauh dari jangkauan masyarakat, dan abstrak karena
sulit didefinisikan. Hasil riset antrapologis itu ternyata sederhana tetapi
cukup menarik untuk dipelajari. Fakta yang ditemukan olehnya adalah bahwa
negara adalah unit birokrasi yang paling kecil. Misalnya saja, bagaimana dalam
konteks kehidupan sehari-hari masyarakat India berurusan dengan desa untuk meminta
surat pengantar, lalu bagaimana masyarakat berurusan dengan kecamatan untuk
membuat KTP, bagaimana ada pertemuan rutin yang di organisir oleh RT maupun RW.
Itulah wajah negara yang ditemui dan dirasakan langsung oleh masyarakat India.
Realitas ini saya kira tidak jauh berbeda
yang kita alami di Indonesia. Jadi, sejauh mana pelayanan birokrasi desa
terhadap masyarakat itulah yang dinilai dan diakui secara langsung oleh
masyarakat. Karena itu, everyday life adalah pintu masuk yang paling
sederhana untuk memahami sebuah struktur sosial, tradisi, adat-istiadat, bahkan
kebudayaan yang melingkupi sebuah komunitas masyarakat tertentu.
Inspirasi ini yang kemudian saya temukan
juga di dalam karya etnografi Nicholas Herriman ‘Negara vs Santet’ yang
mengambil situs di Banyuwangi tentang ramainya pembakaran dan pembunuhan
terhadap dukun santet di era tahun 90-an. Terutama menjelang dan pasca
runtuhnya orde baru. Herriman banyak menemukan fakta menarik bahwa ternyata
peran hansip desa dan beberapa tokoh desa menjadi faktor kunci dalam
mengendalikan amuk masa masyarakat. Hal ini karena para birokrat desa tersebut
dianggap memilki otoritas absolut dalam menentukan nasib dukun yang dianggap
sebagai dukun santet, ia layak di adili atau bahkan di selamatkan. Namun,
bagaimanapun juga amuk massa terkadang tidak mampu di kendalikan oleh Negara
dalam hal ini otoritas desa.
Kembali kepada tema yang ingin saya
kemukakan dalam tulisan ini, arkanul ma’had yang sempat di populerkan
oleh Dr. Zayadi salah seorang pimpinan PD Pontren Kemenag ada empat, pertama
pesantren harus di asuh oleh Kiai, kedua ada Pendidikanlpengajaran agama,
ketiga, masjid/musolla, keempat memiliki asrama. Keempat rukun ini harus
dimilki oleh sebuah lembaga yang disebut sebagai pesantren, tentunya ini adalah
standar yang di terapkan negara untuk menilai kelayakan sebuah pesantren.
Tetapi jika menilik literatur yang otoritatif salah satu karya yang cukup layak
menjadi rujukan adalah karya Cak Nur- Nur Cholis Madjid ‘Bilik-Bilik
Pesantren’. Karya ini juga mengkaji unsur-unsur yang terkandung di dalam
pesantren.
Kiai adalah sosok yang unik, karena ia
adalah pemimpin tunggal seperti raja yang membangun serta menguasai seluruh
asset yang dimilki oleh pesantren. Demikian juga seluruh peraturan yang selama
ini menjadi acuan hidup santri selama tinggal di pesntren tidak lepas dari
otoritas Kiai. Selain itu, Kiai juga dianggap sebagai pemilik otoritas
satu-satunya yang mentransmisikan ajaran-jaran Islam kepada para santri. Karena
itu, semakin alim dan sakti Kiai itu, maka semakin kuat otoritas yang
dimilikinya, tidak hanya di hadapan santri namun juga masyarakat secara umum.
Berbicara tentang Kiai saya teringat sebuah
kumpulan esai Gus Dur-KH. Abdurrahman Wahid di Tempo yang kemudian di bukukan
dengan judul ‘Kiai Nyentrik Membela Pemerintah’. Bagi saya, esai ini sangat
dahsyat karena Gus Dur secara detail mampu mendiskripsikan berbagai macam
tipologi, keunikan, kekahasan, dan kapabilitas Kiai dalam berbagai bidang.
Jadi, selain Kiai mempunyai otoritas keilmuan yang tinggi di bidang agama,
tetapi dalam konteks kemasyarakat dan kebangsaan mereka memiliki cara berdakwah
yang beragam. Misalnya, seperti Kiai Muchit Muzadi yang dianggap selalu membela
pemerintah, karena beliau ingin menunjukkan bahwa pemerintah memiliki peran dan
pengaruh besar terhadap eksistensi umat Islam. Lalu, ada sosok Kai seperti Gus
Miek yang begitu berkesan bagi Gus Dur karena cara berdakwah beliau yang tidak
lazim seperti di tempat-tempat diskotik. Kemudian, beliau menggambarkan sosok
Kiai Bisyri Sansyuri sebagai pendekar fikih sepanjang hayat yang seluruh
keputusan dalam hidupnya tidak lepas dari kacamata fikih.
Saya mengagumi tulisan-tulisan Gus Dur
dalam esai ini karena betapa sangat detail mengambarkan sosok Kiai yang begitu
rupa, kedalamannya, butir-butir kearifan, kebijaksanaan yang mampu di potret
oleh Gus Dur menambah nuansa yang begitu intim bahwa seorang Kiai adalah sosok
suci pelanjut estafet Nabi. Saya kemudian teringat salah satu profesor saat
memberi masukan terkait topik riset saya tentang pesantren. “Ketika anda
meniliti Kiai maka anda harus detail, lihat bagaiman mimic wajahnya, gestur
tubuhnya, cara ia duduk, berdiri, retorikanya saat memberikan pengajian,
menerima tamu, atau pada saat sekedar bercanda dengan para santri”. Inilah
dunia Kiai yang misterius tetapi sangat asyik untuk di selami.