Oleh : M. Farid Abbad
Saya adalah salah satu orang yang semula kaget dengan
datangnya virus Covid-19 yang sekarang sudah menjadi momok bagi seluruh umat
manusia di dunia ini. Struktur kehidupan yang telah tertata rapi dengan
serangkaian disiplin ilmu pengetahuan yang mendorong agar kehidupan umat
manusia semakin baik dan progresif kini mengalami stagnasi yang begitu nyata.
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan melakukan upaya intervensi untuk
menemukan sebuah alternatif bagi tatanan kehidupan yang baru.
Saya memiliki keyakinan banyak manusia yang tidak
pernah membayangkan bagaimana kemudian dunia berubah dengan sangat cepat dan
massif seperti sekarang ini. Revolusi kehidupan yang sulit dibayangkan oleh
siapapun termasuk para ilmuan. Selama ini manusia hanya mendiskusikan berbagai
macam teori-teori besar tentang realitas, pertarungan dan kontestasi yang
muncul adalah pertarungan ide dan gagasan. Jarang sekali yang mendiskusikan
bangunan realitas. Saya melihat ruang perdebatan itu sekarang sudah mulai
menyusut, yang muncul kemudian adalah bagaimana manusia mengahadapi wujud
realitas konkrit yang di hadapi sekarang ini.
Sebab itu, melihat bagaimana realitas bekerja manusia
sudah mulai terlihat gagap dan gamang menghadapi peubahan dunia ini. Semua
sektor kehidupan terkoyak, terutama sektor yang paling mendasar yaitu ekonomi
sebagai soko guru kehidupan. Virus Covid-19 datang seperti ingin mematahkan
superioritas manusia dimuka bumi ini. Bahkan para pakar epidemologi dan ilmuan
yang bergulat di dunia sains juga sudah mengalami kegamangan karena tidak mampu
mengidentifikasi datnganya virus ini, termasuk dari gen manakah virus yang satu
ini. Virus ini terus mengalami mutasi dan tidak bisa dihentikan.
Kehidupan manusia kemudian mengalami perubahan di
semua lini, negara melakukan segala upaya agar tidak terjadi resesi ekonomi,
media selalu mengabarkan berita lelayu tentang kematian, kelaparan,
kesusahan, kesulitan, kekacauan yang melanda umat manusia. Bagi sebagian orang
yang hidupnya semakin terjepit situasi ini layaknya seperti kiamat. Manusia
seperti di hantam oleh kejamnya hidup. Semua orang seperti ingin menyelamatkan
hidupnya masing-masing. Dengan seluruh upaya dan strategi bertahan adalah
pilihan terakhir menghadapai wabah ini. Manusia mengalami keterbelahan yang
nyata antara yang percaya dengan virus ini sepenuhnya, dengan yang sudah abai
karena kesulitan hidup yang dihadapi.
Sebagian manusia ada yang melakukan gerakan untuk
menolong sesama, membantu meringankan beban saudaranya atas nama kemanusiaan.
Sebagian lagi mulai berhitung tentang sejauh mana dirinya bisa bertahan dengan
ekonomi yang dimiliki saat ini. Sayangnya, yang banyak terpapar virus ini
mayoritas adalah kelompok menengah ke bawah yang sudah berat untuk bertahan.
Sehingga, rasanya hati ini mulai berat melihat bagaimana “ Tuhan” bekerja dalam
menggerakkan realitas ini.
***
Sebagai manusia yang memilki iman, kepercayaan,
kepatuhan, dan kepasrahan kepada Tuhan manusia kemudian melakukan tafsir atas
situasi ini, apa yang sesungguhnya Tuhan siapkan ketika menciptakan situasi ini
? apakah Tuhan ingin melakukan seleksi untuk menata kembali dunia yang sudah
rapuh ini ? dengan hanya mempertahankan manusia-manusia yang tidak hanya sibuk
untuk menuruti kepuasan material, lalu melupakan eksistensi dirinya sebagai
manusia ruhani yang harus selalu mengingat sangkan paraning dumadi-nya ?
atau banyak manusia yang melupakan tugasnya sebagai mandataris Tuhan yang
memikul amanat bumi ini ?
Semua itu hanya pertanyaan imajiner yang selalu
mengganjal di benak saya, ketika mengalami bagaimana hidup ini semakin hari semakin
sulit. Tetapi sekali lagi, ini hanya pertanyaan spekkulatif dan sifatnya sangat
partikular. Hanya fragmen kehidupan di sebuah kampung kecil yang saya alami.
Mungkin, saja asumsi saya salah, barangkali di fragmen kehidupan yang lain
banyak manusia yang mendapatkan keberkahan dari adanya Covid-19 ini. Kehidupannya
lebih ayem, adem, tentrem, tidak nelongso, lebih bisa mengakrabi hidup, kesendirian,
kesunyian, keintiman dengan Tuhan dan sederet situasi batin yang lain.
Saya teringat sebuah nasehat dari guru saya, bahwa
kita hidup dunia ini hanya menjalankan tugas yang diberikan oleh Tuhan. Adapun
tugas itu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Karena medan kehidupan ini
begitu luas maka kita tidak punya hak untuk memberikan nilai kepada siapapun.
Karena sesungguhnya pertanggungjawaban itu hanya kepada Tuhan. Kita tidak
berhak mengatur lebih banyak hidup yang kita alami saat ini, karena kita wujud
saja itu sudah harus berterimaksih. Jika memang kontrak kita habis dan purna,
ya kita serahkan saja kepada Tuhan, Dzat Pemilik semesta ini. Sementara selama
hayat masih dikandung badan lakukan dan kerjakan tugasmu sebagai manusia sebaik
dan seideal mungkin. Persoalan sukses, diterima, atau malah di tolak itu hak
preogatif Tuhan.
Dalam situasi pandemi tugas kita adalah bertahan, dan
mempertahankan keluarga kita dengan upaya yang bisa kita lakukan, karena kunci
dari stagnasi adalah bergerak. Seribu gerundelan dan kutukan atas situasi
ini tidak akan pernah merubah keadaan. Justru yang ada kita akan semakin
kehabisan energi. Situasi ini menguji kecerdasan kita bagaimana menjadi manusia
yang cerdas dan mampu beradaptasi dengan segala situasi, kondisi, dan tentunya
adalah zaman.