![]() |
(Foto: ilustrasi) |
Oleh: Muhammad Farid Abbad
Suasana pada malam itu berbeda seperti
malam-malam yang lain, biasanya saya hanya melakukan aktifitas yang bersifat
rutin sehari-hari yaitu mengajar, atau membaca buku sekedarnya. Namun, malam
itu menjadi malam istimewa karena kedatangan tamu agung dari ujung barat
Indonesia. Seperti biasa sambil menunggu kedatangan sang tamu saya dan
teman-teman ngobrol ngalor ngidul tentang sejarah, filologi, teks, diskursus,
bahkan dengan seidkit bercanda menyinggung tentang dukun akademik.
Celetukan itu bukan hanya celetukan
biasa karena ada satu disiplin penting yang sedang di resapi dan didalami
tentang dunia simbol dan huruf, jadi dunia huruf yang penuh dengan keasyikan
dan selalu mengandung misteri dalam proses mempelajarinya. Selain itu, diskusi
tentang huruf memang tidak lazim dan tidak banyak dibicarakan oleh khalayak
umum, bahkan sebagaian mungkin menganggap itu sebagai klenik, abstrak, dan
menghayal. Tetapi saya bisa menjamin siapapun yang mau belajar mendalami kajian
huruf secara ilmiah dan serius maka akan menemukan alternatif prespektif yang
menarik dan anti-mainstream. Maksudnya, memahami konstruksi apapun dengan
pendekatan ilmu huruf ternyata memberikan nuansa yang lebih dalam lagi luas.
Sayang tulisan ini tidak akan membahas
lebih jauh tentang huruf dengan segala wujud, pengaruh, makna, atau
referensinya, tetapi tulisan ini akan mengurai sedikit tentang ilmu baru
tentang membangun batu-bata peradaban. Inspirasi ini muncul setelah sang guru
menyampaikan empat pilar dalam membangun Peradaban Al- Amien. Barangkali,
selama ini kalau kita berbiacara tentang peradaban akan dianggap mlepuk,
ndakik-ndakik, utopis, dan terlalu tinggi untuk ukuran kapasitas kita
sebagai manusia biasa yang hidup di desa, dengan kehidupan sederhana, dan jauh
dari pusat kekuasaan.
Padahal, kalau kita mau menerawang
makna peradaban sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja, tidak wah, karena
peradaban menurut saya adalah sebuah fase yang ingin kita gapai dengan
maksimal, sebuah momen ideal yang ingin kita wujudkan dengan segenap kemampuan
dan kesempatan yang kita miliki saat ini. Oleh karenanya, kehidupan yang baik
dan beradab adalah sebuah cerminan peradaban yang kita upayakan terus menerus.
Setidaknya ada empat hal yang bisa kita renungkan untuk membangun peradaban
itu.
Pertama, Noto Jiwo, Menata Jiwa ini adalah prasyarat yang tidak bisa kita tinggalkan.
Karena pusat pengendali kehidupan kita sebenarnya adalah diri kita sendiri,
jiwa dalam konteks ini maknanya adalah keseluruhan ‘diri’ kita. Masyarakat yang
hidup dalam diri kita yang semuanya harus terus di manage, dikelola
dengan baik dan benar. Selalu di selaraskan dan di latih untuk selalu
berkecenderungan baik. Dengan demikian kunci untuk menapaki jalan selanjutnya
adalah jiwa harus tertata dulu. Karena jiwa merupakan cermin dari hidup kita.
Dia akan memantulkan kondisinya dalam kasunyatan hidup sehari-hari.
Karenanya, dalam tradisi Islam kita mengenal hadis yang sangat populer “ siapa
yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Pengenalan diri yang terus
menerus akan membuat kita lebih mudah mengenali jiwa kita, jiwa ragawi maupun
jiwa rohani.
Kedua, Noto Bondo, Menata Materi. Tahap kedua ini saya kira lebih mudah tetapi juga
tidak mudah-mudah amat. Maksudnya, membangun ekonomi tentu tidak semua orang
memiliki kecakapan di bidang ini, apalagi bagi orang-orang tertentu yang tidak
memilki wadag potensi ekonomi, sehingga jatah yang bisa didapatkanpun
terkadang hanya cukup untuk survive, bertahan saja. Apalagi kemudian harus
mapan dulu lalu baru bisa melakukan pergerakan dan pemberdayaan kepada masyarakat yang luas. Saya
lebih memahami noto bondo dalam konteks ini adalah setelah kita merasa cukup
secara ekonomi, segala kebutuhan keluarga tidak ada yang kurang di semua lini,
maka langkah berikutnya adalah bagaimana kita mampu berkolaborasi dengan
berbagai pihak.
Saya meyakini bahwa setiap manusia
memilki nurani untuk memberikan kemanfaatan pada yang lain. Di dalam diri
setiap manusia terkandung jiwa altruis. Ia akan menemukan kepuasan batin yang
dalam ketika mampu bermanfaat untuk yang lain. Nah, disinilah kesempatan kita
untuk membangun jejaring dengan pihak-pihak yang mapan secara ekonomi. Mereka
pasti akan sangat senang jika harta yang selama ini dikelola mampu dikembangkan
dan memiliki dampak besar bagi kemanusiaan.
Ketiga, Noto Projo, Menata Institusi. Tahapan ketiga ini adalah bagaimana kita
berkomunitas. Atau jika belum ada komunitas yang memilki visi yang sama dengan
kita, lantas kita bisa menjadi kreator untuk menciptakan sebuah komunitas
sebagai media perjuangan kita. Para penggerak perubahan dalam lintasan sejarah
memilki visi ini. Ia selalu tergerak untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan
dengan mengambil satu atau beberapa bagian yang dibutuhkan untuk pengembangan
kehidupan manusia. Ada yang mengambil sektor pengembangan Ekonomi, Pendidikan, Politik,
Agama, Kebudayaan, dan sebagainya. Karenanya, institusi semacam ini perlu
selalu di rawat dengan niat yang tulus dan sebagai medan perjuangan dalam
mengisi kehidupan kita.
Semua institusi adalah baik selama
visinya adalah kemanusiaan. Dan tentu dampak atau efek yang ditumbulkan dengan
adanya visi ini tergantung kecerdasan dan semangat juang yang dimiliki oleh
masing-masing kita. Apakah imajinasi kita mampu melampaui zaman ketika kita
bergulat secara total dengan institusi yang kita kembangkan itu atau tidak,
semuanya kembali kepada pribadi kita masing-masing. Karena hidup yang tidak
memilki visi adalah hidup yang tidak layak untuk diperjuangkan.
Keempat, Noto Budoyo, Menata
Kebudayaan. Setelah tiga tahapan itu
kita lewati sebenarnya yang paling berat adalah bagaimana kita menjadikan
sebuah gerakan yang kita inisiasi bisa menjadi budaya, culture dalam kehidupan
masyarakat kita, bahkan sampai diwarisi oleh generasi dan anak cucu kita. Bagaimana
agar kemudian kesadaran manusia terpantik untuk selalu peduli akan pengembangan
perikehiudupan ini. Jadi, tidak hanya terbatas untuk co-survival saja.
Namun, apa jejak kebaikan yang ingin kita bumikan sampai menjadi kebudayaan.
Banyak contoh yang bisa kita ambil tentang pola ini. Sebut saja wali songo
meskipun sudah berabad-abad yang lalu meninggalkan kita semua tapi jejak
kebudayaan yang ditinggalkan masih terasa kuat nafasnya sampai saat ini.
Slametan, wayangan, guyub rukun, mitoni, tahlil 7 hari, 40, 100 dst, semuanya
adalah nafas kebudayaan yang kita cerap sebagai sebuah ritual yang terus
menerus dirayakan.
Oleh karenanya, spirit dan sejarah
membangun sebuah peradaban tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu,
sejarah leluhur kita, sejarah orang-orang hebat yang jejaknya masih bisa kita
nikmati hingga saat ini. Semua yang saya tulis di atas adalah refleksi agar
kehidupan kita tidak kering dari nilai-nilai, perjuangan, berkhidmah, dan terus
memberikan yang terbaik untuk semesta kehidupan ini.
Kajen, 4 November 2020