Bulan Ramadhan telah lewat, akan tetapi syariat berpuasa tetap ada. Berpuasa yang saya maksudkan di sini bukan puasa sunah, akan tetapi puasa yang lebih luas maknanya. Dalam kitab Sirrul Asrar, Syekh Abdul Qadir Jilani membagi puasa menjadi tiga macam: Puasa Syariat, Tarekat, dan hakikat.
Jangan canggung dulu dengan kalimat "tarekat" dan "hakikat", itu hanya kata, tidak lebih dan tidak kurang. Jangan overthinking dulu. Tiga tingkatan puasa tersebut banyak disebut di kitab-kitab fiqih dengan bahasa yang agak berbeda, tapi intinya sama.
Dalam khutbah ied kemarin, saya menggubah tiga macam puasa itu dengan sentuhan kata yang lebih alamiah dan kongkrit: Puasanya Ulat, Kepompong dan Kupu-kupu. Atau dengan ungkapan lain: Puasa dua lubang, tujuh lubang, dan sembilan lubang.
Puasa dua lubang artinya mulut dan kelamin. Puasa tujuh lubang maksudnya mengelola tujuh akses panca indra di kepala, dua telinga, dua mata, dua hidung dan satu lisan. Sedangkan puasa sembilan lubang adalah 7 lubang di kepala plus dua titik kesadaran manusia: pikiran dan hati.
Puasa Terberat Justru Saat Momen Berbuka
Puasa syariat, dalam Sirrul Asrar artinya puasa yang dibatasi oleh waktu. Saat bedug maghrib ditabuh, secara hukum fiqih tugas menutup dua lubang telah purna. Pada momen ini, orang mengira puasa telah usai, padahal masih ada anjuran untuk imsak (menahan diri) untuk tidak makan dan minum berlebihan. Anjuran ini tidak main-main karena Al-Qur'an langsung yang memperingatkan:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Artinya: "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31)
Bisa Anda bayangkan, seorang muslim yang merasa telah melaksanakan ketaatan karena seharian menahan lapar dan dahaga, tiba-tiba ketika berbuka Tuhan malah tidak menyukainya, karena ia berlebih-lebihan dalam melampiaskan hasrat kepuasaannya setelah bertahan selama berjam-jam, ngegass tapi rem blong.
Apakah puasanya sah? Sah sah saja tetapi ulat masih belum berhijrah untuk bermetamorfosa menjadi kepompong apalagi kupu-kupu.
Saat tanggal satu syawal diputuskan oleh pemerintah, otomatis bulan Ramadhan telah usai, kewajiban berpuasa pun gugur, namun bukankah kewajiban dalam menjaga diri untuk tidak berbuat kerusakan masih berlanjut? Darimana kerusakan itu bermula? Dari ketidakmampuan dalam mengelola lubang-lubang tersebut.
Lailatul Qadar, bagi saya adalah keberanian untuk mengakui diri sebagai (mantan) "ulat" namun tidak merasa rendah diri dan terus bertumbuh untuk menjalani laku "kepompong" agar tiba saatnya nanti untuk diberi jubah kupu-kupu, syukur-syukur "Mi'raj" lagi dan lagi hingga menjadi "Lebah" yang menghasilkan madu dan membawa manfaat bagi banyak orang sebagaimana perlambang surat "An Nahl".
Salam.
16 April 2024
Gus Muhammad Sholah Ulayya, Lc., M.Pd.I, Koordinator Lingkar Kosmik Jatim & Sekjen Aswaja NU Center Sidoarjo, Pembantu Pengasuh PP. Al Roudloh Kajen.