Header Ads

Header Ads

Puasa dalam Perspektif Imam Al-Ghazali dan Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani

Jum'at, 07 Maret 2025

Ceramah Ilmiah PP. Al Roudloh, 7 Ramadhan 1446 H. (Foto: PP. Al Roudloh)

Di dalam kitab fikih, makna puasa itu adalah al-imsak yang artinya menahan, mengelola, mengontrol, dan mencegah. Lalu ada yang memaknai puasa merupakan antarku wal-kaffu, antarku itu maknanya adalah meninggalkan, al-kaffu itu sama maknanya adalah mencegah.

Apa yang kita lakukan dalam puasa? Apa yang kita cegah dalam puasa? Adalah ‘anil muffirat atau dari perkara-perkara yang bisa membatalkan puasa. Misalnya hal-hal yang membatalkan puasa adalah makan dan minum serta berhubungan suami istri pada saat melakukan atau menjalankan puasa.

Mengapa makna ini harus kita dalami lagi? Apakah cukup orang puasa itu hanya menahan lapar dan dahaga serta menahan nafsu untuk tidak melakukan hubungan suami istri? Ternyata di dalam satu hadits kanjeng Nabi Muhammad SAW mengatakan:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya: “Banyak sekali orang-orang yang melakukan puasa tetapi yang didapatkan hanya rasa lapar dan rasa haus.” (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Jadi orang melakukan puasa mulai dari waktu imsak atau fajar sampai tenggelamnya matahari atau masuk pada waktu maghrib. Tetapi tidak ada satu pun pahala yang didapatkan padahal puasanya sah. Siapa orang-orang itu? Adalah orang yang berpuasa tetapi masih melakukan lima hal.

Yang pertama adalah al-khadzib, maknanya adalah berbohong. Kalau orang puasa yang bisa dan mampu menahan rasa lapar dan rasa haus tetapi dalam proses menjalankan puasa ia masih berbohong. Apakah ini membatalkan puasa? Tidak. Puasanya masih sah tetapi pahalanya rontok habis tidak tersisa. Maka ia puasa hanya mendapatkan rasa lapar dan rasa haus.

Selanjutnya yang kedua adalah ghibah, maknanya adalah ngerasani atau membicarakan keburukan orang lain. Ini puasanya sah atau tidak sah, tetapi semua pahalanya rontok tidak tersisa sedikit pun. Lalu jika ada orang yang mengatakan orang yang suka melakukan ghibah itu kan yang berbicara, yang mendengarkan kan tidak termasuk ghibah. Kata siapa? Yang ngomong dengan yang mendengarkan itu sama-sama saja.

Lalu yang ketiga, siapa orang yang puasa tetapi tidak mendapatkan pahala, adalah orang yang namimah atau orang yang suka mengadu domba. Jadi jika ada orang yang berpuasa tetapi masih suka melakukan adu domba, sukanya menjelek-jelekkan, sukanya fitnah, ini puasanya sah tetapi pahalanya rontok tidak tersisa.

Kemudian yang nomor empat, adalah orang yang melakukan sumpah palsu. Misalnya kamu ditanya, kamu ngaji gak? Ngaji! Sumpah kamu ngaji? Ngaji beneran. Padahal gak ngaji, tidur. Ini namanya sumpah palsu. Ini contoh dari sumpah palsu. Puasanya sah? Sah. Tapi pahalanya rontok.

Terakhir yang kelima, adalah orang yang melihat dengan pandangan syahwat, ini berlaku bagi laki-laki dan juga bagi perempuan. Jadi saat kamu pergi, tapi niatmu pergi tidak hanya sekedar membeli es untuk berbuka puasa,  tapi kamu mempunyai tujuan supaya bisa cuci mata. Cuci mata itu adalah mengandung syahwat atau hasrat. Ini kamu sudah mau berbuka puasa, sudah terlanjur haus, sudah terlanjur lapar sekali, kamu sadar ternyata kamu tidak mendapatkan apa-apa, pahalamu semua rontok yang kamu dapat hanya lapar dan haus saja.

Makanya ini pentingnya ceramah ilmiah. Supaya kamu bisa memahami dan lebih mendalami apa itu makna puasa. Maka Imam Al-Ghazali di dalam kitab Bidayatul Hidayah menjelaskan, ada puasa itu tiga level atau tingkatan.

Yang pertama adalah Shaumul Awam, maknanya itu puasanya orang yang awam atau orang yang hanya memahami dan mengetahui bahwa puasa itu cukup menahan lapar dan menahan haus. Tapi ia tidak memahami bahwa makna puasa itu tidak hanya sekedar menahan rasa haus dan lapar, namun juga harus mengendalikan seluruh organ tubuhnya termasuk mengajak pikirannya, hatinya, nafsunya, untuk sama-sama menjalankan ibadah puasa.

Lalu ada level atau tingkatan yang kedua yang lebih tinggi adalah puasa Shaumul Khoas, yaitu puasanya orang-orang khusus, artinya orang yang sudah memahami makna terdalam tentang puasa. Jadi, puasanya tidak hanya menahan lapar, tidak hanya menahan haus, tidak hanya menahan untuk tidak melakukan hubungan suami istri, tetapi seluruh organ tubuhnya, matanya; lisannya; telinganya; tangannya; kakinya; pikirannya; hatinya; nafsunya; semuanya diajak untuk puasa.

Kemudian caranya bagaimana agar supaya kita bisa menyempurnakan puasa kita secara utuh. Yang pertama, yang harus dijaga adalah menahan pandangan mata. Karena mata ini ketika melihat sesuatu itu pasti mengandung yang namanya syahwat. Lalu bagaimana caranya kita mengajak mata kita untuk puasa? Kita latih mata kita, kita kontrol dan kita kendalikan mata kita ketika melihat lawan jenis itu tidak muncul yang namanya syahwat.

Lalu lisan, supaya lisan diajak puasa caranya bagaimana? Caranya lisan kita ketika berbicara, bicaranya yang bagus yang baik, jika tidak bermanfaat tidak perlu dibicarakan. Jangan malah lisannya dibuat memfitnah, menjelek-jelekkan, melecehkan, mengghibah, sumpah palsu, adu dombaitu berarti kita belum mampu mengendalikan dan menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak baik.

Bagaimana cara kita mengajak telinga kita untuk melakukan puasa? Telinganya dibuat untuk mendengarkan kita membaca Al-Qur'an, wiridan, dan dzikir. Sehingga telinga kita ini kemudian terbiasa untuk mendengarkan dzikir. Diajak mendengarkan ngaji, ini caranya kita mengajak telinga kita untuk melakukan puasa.

Termasuk tangan, bagaimana cara kita mengajak tangan untuk puasa? Puasa itu tangan dibuat untuk memegang Al-Qur'an, kitab, buku, dan menolong temannya. Itu caranya kita mengajarkan tangan kita untuk sama-sama melakukan puasa. Lalu bagaimana cara kita mengajak kaki kita untuk puasa? Kakinya diajak ke tempat tujuan yang baik-baik,yang diridhai oleh Allah SWT..

Bagaimana cara kita mengajak pikiran untuk berpuasa? Pikirannya ditata dibuat untuk berpikir yang baik-baik, positif, dibuat mikir tentang ilmu. Jangan malah pikirannya dibuat yang jelek-jelek, negative thinking. Mari kita ajak pikiran kita untuk berpuasa, kita kontrol, kita fitrahkan, kita sucikan, kita murnikan, pada saat kita menjalankan puasa.

Lalu kemudian, bagaimana cara kita mengajak hati, mengajak jiwa untuk melakukan puasa? Hati itu tempatny yang baik, hati itu ibarat air yang jernih. Tetapi kadang-kadang ada penyakit-penyakit, ada kotoran-kotoran yang bisa menjadikan hati kita yang awalnya bening, awalnya jernih, awalnya bersih menjadi keruh dan kotor. Apa kotoran-kotoran yang bisa merusak kebeningan dan kejernihan hati kita?

Yang pertama adalah sifat sombong, sifat jumawa, al-kibr. Yang kedua ada lagi penyakit hati yang disebut sebagai sum’ah, yaitu orang yang terlalu membanggakan dirinya. Merasa dirinya paling hebat, paling kondang, paling bersih, paling solih, paling suci, paling segala-galanya. Sementara jika melihat orang lain selalu dalam pandangan yang buruk, yang negatif.

Ada lagi penyakit hati yang bisa merusak kejernihan hati kita, yaitu al-hidn, maknanya itu dendam. Jadi hati-hati sama yang namanya dendam. Karena dendam itu seperti penyakit kanker. Dia seperti kanker yang akan menggerogoti hati kita. Sehingga kalau hati kita sudah dipenuhi dengan kebencian, dengan kedengkian, ini pengobatannya susah. Akhirnya jika kamu dengan orang lain susah bertemu. Kamu tidak bisa membangun harmoni, membangun tepo seliro, membangun hubungan baik dengan orang lain.

Makanya puasa itu caranya menjaga hati, caranya mempuasakan hati. Itu jangan sampai ada penyakit yang menggerogoti, mengotori kebeningan dan kejernihan hati kita. Kalau menurut Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya’, itu dijelaskan tentang tiga level puasa.

Satu puasanya orang awam, yang kedua adalah puasanya orang khusus, dan yang ketiga adalah khowasul khowas, orang yang lebih khusus, orang yang lebih tinggi terhadap level-levelnya. Siapa mereka itu? Mereka adalah para auliya’, para walinya Allah, para anbiya’. Karena mereka ketika berpikir selain Allah itu puasanya batal.

Lalu bagaimana cara beliau untuk mengqadha’ atau mengembalikan puasanya, beliau akan langsung melakukan taubatan nashuha, kembali kepada Allah SWT, bertaubat, beristighfar, meminta ampun dengan Allah SWT.

Lalu keterangan ini juga dibahas oleh seorang ulama Jawa yang sangat terkenal, beliau merupakan guru dari para ulama di Nusantara namanya KH. Sholeh Darat. Mbah Sholeh Darat itu mempunyai kitab namanya Maqoshidu Thaharah wa Ashrorush Sholah. Di dalam kitab itu juga menjelaskan tentang rahasia-rahasia shalat juga ada rahasia-rahasia puasa dan semua itu juga dipetik dari kitab Ihya’.

Termasuk bagaimana kelanjutannya setelah kita puasa? Apa yang harus kita jaga? Bagaimana kita menjaga diri fisik kita, pikiran kita, menjaga jiwa dan hati kita, maka ada satu kitab lanjutan yang ditulis oleh Mbah Sholeh Darat namanya Kitabul Munjiyat. Itu juga petikan dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya dari Imam Al-Ghazali.

Ada 11 hal yang merusak kehidupan kita namanya al-mubdihat. Lalu ada 11 hal yang bisa menyelamatkan hidup kita yang oleh Kyai Sholeh Darat disebut sebagai al-munjiyat. Kapan-kapan kita bahas, kita teliti, kita pelajari satu per satu. Lalu apa 11 perkara yang bisa menyelamatkan.

Kemudian menurut Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani di dalam kitabnya Sirrul Ashror, Sirrul Ashror itu maknanya rahasianya beberapa rahasia. Di dalam kitab itu dijelaskan bahwa beliau mengambil satu hadis dari baginda Nabi Muhammad SAW:

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ الْإِفْطَارِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ رُؤْيَةِ جَمَالِي

Artinya: “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, ketika berbuka puasa dan ketika melihat Allah.

Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, ketika kita puasa di dunia ini tujuannya yang paling menggembirakan kita adalah ketika kita sudah masuk pada waktu berbuka. Itu salah satu kenikmatan yang luar biasa setelah kita tidak merasakan air. 

Yang kedua, bahwa kita nanti akan merasakan nikmat yang paling tinggi melebihi nikmat surganya Allah SWT yaitu ni’matu ziyadah, bertemu, bertatap muka, dan berhadap-hadapan langsung dengan Allah SWT. Jadi ru’yatullah atau melihat Allah SWT di surga itu kenikmatan yang tidak bisa dibayarkan, tidak bisa digambarkan, dan tidak bisa diceritakan.

Bahkan kenikmatan ketemu karo Gusti Allah itu tidak ada bandingannya, suwargo gak ono apa-apane. Padahal di dalam hadits yang lain bahwa nanti ketika orang berpuasa itu akan mendapatkan tempat spesial di surga, namanya ar-rayyan

الصَّوْمَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Artinya: “Puasa itu adalah untuk Ku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya.”

Lalu yang terakhir, di dalam kitabnya Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani beliau mengatakan ada dua jenis puasa. Yang pertama adalah puasa yang bersifat syari’at, sifatnya mu’aqod atau tertentu ada waktunya. Misalnya puasa di bulan Ramadhan.

Yang kedua adalah puasa thoriqoh, yang dilakukan sepanjang hayat. Maksudnya ketika kita sudah selesai puasa di bulan Ramadhan dan kita masuk di bulan Syawal diri kita sudah terlatih. Artinya kita terlatih untuk mengamalkan makna sejati dari puasa yaitu al-imsak, bisa mengontrol diri.

Kalau ini kita lakukan itu berarti kita juga mempraktekkan makna dan nilai-nilai puasa. Karena maknanya puasa sesungguhnya adalah menahan diri dari berbohong, melecehkan, memfitnah, mengghibah, mengadu domba, ini semuanya kalau bisa kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari tidak hanya di bulan Ramadhan berarti kita juga naik kelas atau level sudah melakukan puasa yang disebut dengan puasa thoriqoh.

Apa hubungannya puasa dengan kesehatan? Di dalam kitab Ihya’ Imam Al-Ghazali mengatakan perut itu sumber penyakit. Dan cara kita menjaga perut dan pola makan itu adalah sumber dari kesehatan atau obat.

صُومُوا تَصِحُّوا

Artinya: “Berpuasalah maka kalian akan sehat.”

Puasa itu akan membawa kita kepada perasaan simpati dan empati. Kalau kita tidak pernah merasakan rasa lapar kita tidak akan pernah merasakan nasib yang dirasakan oleh orang lain. Maka puasa itu termasuk pendidikan rohani, pendidikan rasa, pendidikan kepekaan kita supaya hati dan jiwa kita paling tidak melihat nasib orang lain yang lebih rendah daripada nasib kita itu selalu ada kepekaan sosial, kepekaan rasa, kepekaan jiwa, karena kita merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita.

Yang celaka itu setelah kita puasa tetapi tidak ada rasa simpati, empati, dan kepedulian kita kepada orang lain. Iki tondo-tondo matine ati. Maka puasa itu salah satu tujuannya pendidikan rohani, pendidikan mental, pendidikan rasa, pendidikan jiwa, supaya kita menjadi manusia yang peka terhadap lingkungan, masalah, dan nasib orang-orang lain.


Oleh: Gus M. Farid Abbad, Pembantu Pengasuh Pondok Pesantren Al Roudloh


Editor: Rista Aslin Nuha